Perkembangan dunia periklanan sekarang ini memang luar biasa. Banyak sekali karya-karya anak negeri, baik di media elektronik maupun media cetak yang membuat kita tercengang, bangga dengan kreativitas mereka. Tapi jika kita mencermati lebih lanjut, dari karya-karya tersebut, masih banyak juga iklan-iklan yang melanggar tata krama dan tata cara periklanan di Indonesia, baik yang disengaja maupun tidak. Jelas terasa adanya pergulatan antara etika di satu pihak dan kepentingan bisnis di pihak lain. Kondisi ini bagian besar akibat masih awamnya para pelaku periklanan maupun masyaraakt sendiri dalam etika berrklan, dan diperparah oleh masih rendahnya tingkat kreativitas dari kebanyakan praktisi periklanan kita, sehingga sering harus mengambil jalan pintas.
Persatuan Pengusaha Periklanan Indonesia (P3I) menilai masih banyak iklan yang melanggar etika. Pelanggaran yang paling banyak adalah iklan yang mengklaim produknya terbaik. Padahal perusahaan yang beriklan itu tidak cukup data untuk mengatakan produknya terbaik.
Dalam dunia jurnalistik, dikenal apa yang disebut dengan kode etik jurnalistik. Tujuannya tidak lain seperti yang telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya yaitu untuk melindungi, atau setidaknya meminimalisir penggunaan media dalam menyebarkan berita yang tidak benar, maupun terjadinya suatu tumpang tindih informasi yang menyebabkan kebingungan di mata khalayak. Hal tersebut dikontrol dan diawasi secara ketat oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI), yang akan terus memonitor dan memantau apakah pelaksanaan kode etik tersebut memang benar-benar dijalankan oleh para jurnalis yang bekerja dan membuat pemberitaan di lapangan, karena pada intinya pengaturan tata etika pada kode etik jurnalistik ini bertujuan melindungi khalayak dan jurnalis itu sendiri.
Tidak hanya jurnalistik yang memiliki kode etik, periklanan pun demikian. Pengaturan kode etik periklanan yang diawasi oleh PPPI (Persatuan Pengusaha Periklanan Indonesia) mengatur sejumlah tata etika dalam beriklan yang ditujukan untuk mencegah terjadinya suatu penipuan iklan kepada konsumen, misalnya dramatisasi kualitas produk yang berlebihan dan tidak sesuai dengan fakta kualitas produk yang ada sehingga kemudian dianggap menipu konsumen. Ataupun adanya larangan untuk menyerang brand competitor secara terang-terangan dalam iklan, karena dianggap tidak etis dan bertujuan buruk yaitu mematikan daya saing produk competitor. Seperti halnya kode etik jurnalistik, kode etik periklanan ini juga dibuat untuk melindungi baik pengiklan maupun khalayak yang menjadi sasaran dari iklan-iklan yang ditayangkan ke publik.
Perkembangan regulasi dan tata etika dalam penggunaan media massa sebagai medium berekspresi dan berbagi informasi secara umum diawasi oleh Departemen Komunikasi Informasi. Produk terbaru yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah tersebut merupaka Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau yang biasa lebih kita kenal sebagai UU ITE. UU ITE ini sebenarnya memiliki tujuan baik, yaitu agar para pengguna media massa, utamanya internet dapat terlindungi dari segala bentuk penipuan, maupun tudingan dan tulisan di internet yang dirasakan akan mencemarkan nama baiknya. UU ITE menjamin masyarakat agar dapat menggunakan medium tersebut secara lebih ‘tertib’, dalam konteks mengharapkan bahwa etika penggunaan medium tersebut dapat diatur sedemikian rupa sehingga kasus-kasus penipuan kartu kredit misalnya yang sering terjadi di masa lalu dapat terhindarkan.
Namun meskipun begitu penerapan UU ITE tidak luput dari kesalahan seperti terjadinya kasus Prita Mulyasari yang terjerat Undang-Undang ini dikarenakan dianggap menyebarkan berita tidak benar dan pencemaran nama baik melalui medium internet. Terlepas dari benar dan salah, hal tersebut menunjukkan bahwa tata etika dalam penggunaan media internet yang selama ini dianggap sebagai medium yang relatif lebih bebas karena banyak menawarkan content yang merupakan user generated content untuk lebih berhati-hati, bahwa ada regulasi kini yang mengatur para pengguna media ini untuk dapat lebih behave pada penggunaan media yang bebas ini.
Dalam masa depan mengenai tata etika ini, sebenarnya dirasakan sangat perlu mengingat kemunculan media baru seperti internet misalnya dirasakan akan menjadi suatau permasalahan yang cukup berarti jika berjalan tanpa pengawasan selama ini. Internet yang di dominasi oleh content yang sifatnya user generated content membutuhkan suatu sistem pengawasan yang ketat dan terstruktur dengan baik, agar tidak ada lagi penyalahgunaan penggunaan internet, seperti contoh kasusnya adalah kasus klik bca, yang mana ada sejumlah nasabah bca yang tertipu dengan domain yang mirip dengan klik bca, yaitu misalkan klikbca.net ataupun klikbca.co.id. Kesalahan pada pengetikan URL digunakan oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab untuk meminta nomor account dan pin dari nasabah BCA yang selanjutnya digunakan untuk membobol rekening mereka, karena para nasabah tertipu dengan interface web dengan url yang mirip itu yang sama persis. Dengan suatu regulasi yang mengatur penggunaan media secara jelas, akan dapat setidaknya walaupun tidak mungkin menghilangkan hal-hal negatif semacam itu, dapat meminimalisir segala bentuk ancaman tindak kejahatan di Internet.
Untuk para pengguna media internet misalnya sebagai medium berekspresi, hendaknya dapat lebih memperhatikan tata etika, karena kita harus ingat bahwa UU ITE sudah berlaku dan hendaknya kita dapat lebih behave dalam menyuarakan pendapat di internet. Ini juga diharapkan dapat bisa mengurangi terjadinya trash talk di internet yang tentunya akan mengganggu para pengguna internet lainnya yang sedang ingin mencari informasi.
Intinya dengan adanya regulasi mengenai tata etika, baik user maupun para content generator harus berhati-hati agar tidak melanggar etika yang ada karena after all, there is no such thing as a total freedom, because there is always a rule
sumber : wikipedia
0 komentar:
Posting Komentar