RSS

Subsidi Minyak Goreng

Seperti diwacanakan, pemerintah berencana memberikan subsidi (harga) minyak goreng kepada sekitar 15 juta rumah tangga miskin di Indonesia. Masyarakat sedang mencoba mengerti fenomena "langkah dadakan" kebijakan pemerintah tersebut.

Apakah secara filosofis subsidi minyak goreng merupakan pernyataan tidak efektifnya kebijakan pajak ekspor minyak sawit mentah (CPO) untuk menurunkan harga minyak goreng, atau apakah pemerintah sedang melakukan road-test suatu teori dasar dalam ilmu ekonomi tentang intervensi negara terhadap "kegagalan pasar" minyak goreng?

Di dalam paradigma neoklasik, intervensi negara dilakukan untuk membenahi kegagalan pasar minyak goreng karena struktur pasar hulu CPO di tingkat internasional yang asimetris dan/atau karena struktur pasar hilir yang sangat jauh dari persaingan sempurna. Dalam paradigma kelembagaan, pemerintah pun seakan sedang melakukan re-adaptasi peran lembaga parastatal, yang memang amat diperlukan dalam perumusan dan pelaksanaan langkah-langkah intervensi subsidi tersebut.

Apabila secara filosofis, tujuan subsidi tersebut adalah untuk stabilisasi harga minyak goreng, kehadiran suatu lembaga parastatal-seperti Perum Bulog untuk beras atau lembaga lain yang berfungsi serupa-memang amat diperlukan.

Kajian terhadap kontribusi minyak goreng terhadap inflasi, struktur pasar domestik, dinamika harga, peran barang substitusi, tingkah laku pelaku, plus kekuatan anggaran negara dan lain-lain memang wajib dilakukan. Akan tetapi, apabila kebijakan subsidi minyak goreng hanya untuk menunjukkan "signal kepedulian" , maka esensi filosofis seperti diuraikan di atas, tentu hanya di atas kertas.

Pekan ini, pembahasan oleh Tim Ekonomi Kabinet mungkin akan memasuki hal-hal teknis operasional penyaluran subsidi minyak goreng tersebut, mulai siapa yang paling bertanggung jawab, metodologi serta mekanisme penyaluran, keterlibatan pihak swasta, partisipasi pemerintah daerah, skema pengawasan dan pemantauan, keterlibatan perguruan tinggi, organisasi masyarakat dan sebagainya.

Hal sudah sangat pasti adalah bahwa langkah-langkah teknis di atas pastilah merupakan derivasi dari landasan filosofis yang digunakan pemerintah. Semakin tidak jelas landasan filosofinya, maka akan semakin besarlah peluang kegagalan dari subsidi minyak goreng tersebut.

Jika pemerintah hanya mencoba mengambil hati rakyat atau menunjukkan kepedulian atas "penderitaan rakyat" yang harus menanggung melonjaknya harga barang kebutuhan pokok akhir-akhir ini, mungkin saja hasilnya hanya berupa pesona, sanjungan, dan pujian yang pasti cuma sesaat.

Akan tetapi, jika langkah tersebut memang untuk memperbaiki struktur pasar minyak goreng, mungkin dampak ganda terhadap kesehatan struktur bisnis atau iklim usaha kondusif, atau bahkan sistem persaingan usaha yang sehat juga akan tercipta.

Sejak Mei 2007, pemerintah telah mencoba melakukan langkah intervensi kebijakan dengan melaksanakan program stabilisasi harga (PSH) dan melibatkan produsen minyak goreng. Walaupun kecenderungan harga CPO dunia sudah terlihat merambat naik sejak Februari, tapi pemerintah baru serius membahasnya dan menghasilkan kebijakan atau program stabilisasi minyak goreng (PSH) tiga bulan kemudian.

Tanpa hasil

Komitmen waktu itu disepakati antara pemerintah, para pengusaha yang tergabung dalam asosiasi kelapa sawit, minyak makan dan minyak nabati Indonesia. Target penyaluran ditetapkan 100 ribu ton per bulan atau sekitar sepertiga dari volume konsumsi bulanan minyak goreng di dalam negeri.

Akan tetapi, sebagaimana telah diketahui, program stabilitasi yang tanpa strategi tersebut tidak menghasilkan apa-apa karena dilakukan dengan setengah hati dan "atas belas kasihan" pengusaha. Dengan kata lain, PSH pada Mei lalu tidak melibatkan lembaga negara tidak terlibat secara sistematis. Sangat sulit berharap efektivitas PSH di tengah situasi pasar yang tidak normal, dan kemungkinan rendahnya estimasi konsumsi minyak goreng 300 ribu ton per bulan tersebut.

Sampai awal Juni, target penyaluran untuk PSH tersebut tidak tercapai sepenuhnya, sehingga pemerintah memiliki excuse untuk memperpanjang periode pelaksanaan PSH sampai akhir Juni. Tekanan masyarakat untuk menurunkan harga minyak goreng memang cukup tinggi sehingga pemerintah mengeluarkan "jurus pamungkas" dengan peningkatan pungutan ekspor CPO dan produk turunannya.

Hal yang menarik adalah terdapat debat publik yang cukup hangat, bahkan di antara aparat birokrasi sendiri. Di satu pihak ada yang sangat keras menyuarakan bahwa harga minyak goreng yang tinggi sangat memberatkan masyarakat berpenghasilan rendah dan industri makanan skala mikro dan kecil.

Namun di lain pihak, ada yang mengusung argumen bahwa kontribusi kenaikan harga minyak goreng terhadap inflasi tidak setinggi kenaikan harga beras. Hasil Survai Sosial-Ekonomi Nasional (SUSENAS) terbatas 2006 menyebutkan kontribusi pengeluaran rumah tangga terhadap minyak dan lemak hanya 1.97%, yang sangat jauh dibanding pengeluaran rumah tangga terhadap biji-bijian (beras) 11,37%.

Pihak pertama meneruskan bahwa jika pemerintah dianggap zalim jika membiarkan masyarakat menerima pukulan bertubi-tubi, sejak naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), melambungnya harga beras, sampai membengkaknya pengeluaran rumah tangga menghadapi tahun ajaran baru sekolah.

Ditambah lagi, dampak berantai kenaikan minyak goreng adalah terancamnya kualitas kesehatan masyarakat lapis bawah. Rumah tangga miskin dan industri makanan skala kecil cenderung memakai ulang minyak goreng sisa (jelantah) berkali-kali melebihi ambang batas toleransi tubuh manusia terhadap makanan berlemak sangat jenuh tersebut.

Singkatnya, pihak kedua terpaksa mengalah dan pemerintah tetap melanjutkan kebijakan untuk menekan harga minyak goreng, walaupun harus mengeluarkan jurus pamungkas tidak populer peningkatan PE CPO sejak Juli lalu. Pemerintah seakan lupa terhadap beberapa hasil kajian serta pengalaman teoritis-empiris, bahwa justifikasi pengenaan tambahan PE tersebut adalah untuk mengembangkan industri hilir berbasis CPO di dalam negeri, bukan untuk menurunkan harga minyak goreng.

Pemerintah perlu serentak memberikan insentif investasi dan kemudahan lainnya dalam mendukung industri margarin, shortening, industri kosmetik, dan industri lain berbahan baku CPO. Setelah kebijakan PE CPO berlangsung dan tidak ada tanda-tanda penurunan harga minyak goreng, justifikasi untuk mengevaluasi kebijakan yang sangat kontroversial tersebut sangat beralasan.

Negara memang memiliki kewajiban untuk melindungi dan mensejahterakan rakyatnya, bukan membiarkannya hidup di tengah ketidakpastian.

Betapa besar dampak yang harus ditanggung sistem perekonomian serta sistem sosial kemasyarakatan, jika suatu kebijakan intervensi itu tidak melalui suatu analisis yang baik dan obyektif, tetapi hanya mengikuti pressure politik tertentu. Semoga tidak demikian.


sumber : pemasaranonline

0 komentar:

Posting Komentar